Perjuangan Diplomasi Pasca Kemerdekaan RI, Perundingan Indonesia dan Belanda Menuju Negara yang Berdaulat - Materi IPS SMP Kelas 9
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, terjadi beberapa perundingan antara Indonesia dan Belanda, sebagai berikut :
- Perundingan Linggarjati, tanggal 25 Maret 1947.
- Perundingan Renville, tanggal 8 Desember 1947.
- Perundingan Roem-Roijen, tanggal 14 April–7 Mei 1949.
- Konfrensi Meja Bundar (KMB), tanggal 23 Agutus–2 November 1949.
Puncaknya, pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dengan syarat harus berbentuk negara serikat. Adapun perjuangan diplomasi elite politik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda dalam rangka menuju Negara yang Berdaulat Pasca Kemerdekaan RI adalah sebagai berikut :
Perundingan Linggarjati (25 Maret 1947)
Delegasi Indonesia : Sutan Sjahrir
Delegasi Belanda : Wim Scermerhorn
Mediator : Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris untuk Asia Tenggara
Hasil perundingan:
1) Belanda mengakui kedaulatan secara de facto atas wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa dan Madura.
2) Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 januari 1949.
3) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
4) Dalam bentuk RIS, Indonesia harus tergabung dalam commonwealth atau persemakmuran Indonesia–Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala persemakmurannya.
Pasca Perundingan Linggarjati terjadi Agresi Militer I Belanda (21 Juli 1947)
Agresi militer pertama Belanda adalah operasi militer Belanda terhadap Indonesia di Jawa dan Sumatra yang dilaksanakan pada tanggal 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947. Penyebab agresi militer pertama Belanda adalah karena perselisihan pendapat akibat perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan Perjanjian Linggarjati, sehingga menimbulkan konflik antara Indonesia dan Belanda.
Perundingan Renville (8 Desember 1947)
Delegasi Indonesia : Amir Syarifuddin
Delegasi Belanda : R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (orang Indonesia yang memihak Belanda)
Isi perundingan :
1) Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
2) Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
3) Pasukan Republik Indonesia yang berada di wilayah-wilayah pendudukan Belanda harus ditarik.
4) Penghentian tembak-menembak.
5) Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya pada pemerintahan federal sementara.
Pasca Perundingan Renville terjadi Agresi Militer Belanda Dua (19 Desember 1948)
Pada tanggal 18 Desember 1948 malam, Dr. Beel memberitahukan kepada delegasi Republik Indonesia dan Komisi Tiga Negara (KTN) bahwa Belanda tidak lagi terikat dan tidak mengakui Perjanjian Renville. Keesokan harinya, Belanda melancarkan agresi militer yang kedua kalinya ke Ibu Kota RI di Yogyakarta. Dalam waktu singkat, pasukan Belanda berhasil menguasai Yogyakarta. Pimpinan tertinggi RI, yaitu Presiden dan Wakil Presiden serta beberapa pejabat tinggi negara ditawan oleh Belanda. Presiden Sukarno dibuang ke Parapat (Sumatra Utara), kemudian ke Bangka. Wakil Presiden Mohammad Hatta dibuang ke Bangka.
Pada saat pasukan Belanda menyerang Ibu Kota RI, kabinet sempat bersidang di Istana Presiden pada pagi hari tanggal 19 Desember 1948. Sidang menghasilkan putusan bahwa jika terjadi sesuatu, Menteri Kemakmuran Rakyat yang sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat, yaitu Syafruddin Prawiranegara diangkat sementara untuk membentuk satu kabinet dan mengambil alih pemerintahan pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Pada tanggal 22 Desember 1948, di Halaban, Payakumbuh diumumkan terbentuknya PDRI tersebut lengkap dengan susunan kabinetnya. Sementara itu, di Jawa dibentuk komisariat PDRI yang dipimpin oleh Sutanto Tirtoprojo, sedangkan Jenderal Sudirman diangkat menjadi panglima angkatan perang PDRI.
Perundingan Roem–Royen (14 April–7 Mei 1949)
Delegasi Indonesia : Moh. Roem
Delegasi Belanda : Dr. Van Royen
Isi perundingan:
1) Pernyataan delegasi Indonesia, sebagai berikut.
- Memerintahkan kepada angkatan bersenjata Indonesia untuk menghentikan perang gerilya.
- Bekerja sama mengembalikan perdamaian, ketertiban, dan keamanan.
- Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dalam upaya mempercepat penyerahan kekuasaan dan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat secara lengkap dan tanpa syarat.
2) Pernyataan delegasi Balanda, sebagai berikut.
- Menyetujui kedaulatan Indonesia dan kembalinya pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.
- Menjamin penghentian gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
- Tidak akan mendirikan negara-negara di daerah yang dikuasai RI dan tidak akan memperluas negara atau daerah dengan merugikan pihak RI.
- Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
Konferensi Meja Bundar (23 Agutus–2 November 1949)
Perwakilan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), sebagai berikut.
Delegasi Indonesia : Moh. Hatta (ketua)
Delegasi Belanda : Mr. Van Maarseveen
Perwakilan UNCLI : Chritchley
Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO atau perwakilan beberapa negara yang diciptakan oleh Belanda di kepulauan Indonesia) dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak
Isi Perundingan:
1) Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat sebagai sebuah negara yang merdeka.
2) Penyelesaian Irian Barat ditunda paling lama satu tahun, setelah pengakuan kedaulatan.
3) Dibentuknya Uni Indonesia–Belanda (RIS dan Kerajaan Belanda) yang akan diketuai Ratu Belanda.
4) Penarikan mundur seluruh tentara Belanda dilakukan segera mungkin.
5) Pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
Pada tanggal 27 Desember 1949 diadakanlah penandatanganan pengakuan kedaulatan di negeri Belanda. Delegasi Indonesia diwakili oleh Moh. Hatta.
Pihak Belanda ditandatangani oleh:
1) Ratu Juliana,
2) Perdana Menteri Dr. Willem Drees, dan
3) Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen.
Pada tanggal yang sama, penyerahan kedaulatan di Jakarta dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota A.H.J. Lovink dengan penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan. Dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tersebut, bentuk negara Republik Indonesia berubah menjadi negara serikat, yakni Republik Indonesia Serikat (RIS).
Tidak ada komentar: